BAB 1. PENDAHULUAN
1. PENGERTIAN BATUBARA
Definisi batubara harus ditinjau
dari beberapa aspek, antara lain, sifat fisik, kejadian, dan pemanfaatan.
Berikut ini untuk memberikan gambaran mengenai pengertian batubara secara umum
dan luas, akan disampaikan berbagai definisi batubara dari beberapa penulis,
yaitu:
Thiessen (1947) : Batubara adalah
suatu benda padat yang kompleks, terdiri dari bermacam-macam unsur mewakili
banyak komponen kimia, dimana hanya sedikit dari komponen kimia tersebut yang
dapat diketahui. Pada umumnya homogen, tetapi hampir semua berasal dari
sisa-sisa tumbuhan yang sangat kompleks, terdiri dari bermacam-macam serat
dimana sertiap serat terdiri dari beberapa sel. Dengan sendirinya bahan-bahan
tersebut akan berkomposisi sejumlah komponen kimia dalam perbandingan yang
sangat bervariasi.
Spackman (1958) : Batubara adalah
suatu benda padat karbonan berkomposisi maseral. Pengertian batubara disini
berarti termasuk semua batubara dari berbagai derajat batubara (coal rank) yang
diawali dari gambut, lignit, batubara sub-bituminus, batubara bituminus, semi
antrasit, antrasit, dan meta antrasit.
The International Hand Book of
Coal Petrography (1963) : Batubara adalah batuan sedimen yang mudah terbakar,
terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan dalam variasi tingkat pengawetan, diikuti
oleh proses kompaksi dan terkubur dalam cekungan-cekungan yang diawali pada
kedalaman yang tidak terlalu dangkal. Cekungan-cekungan ini pada garis besarnya
dibagi atas cekungan limnik (intra continental) dan cekungan paralis yang
berhubungan dengan air laut. Segera setelah lapisan-lapisan dasar turun
terus-menerus, sisa-sisa tanaman yang terkubur tersebut dipengaruhi oleh proses
normal metamorfosis terutama oleh temperatur dan tekanan.
Wolf (1984): Batubara adalah
batuan sedimen yang dapat terbakar, berasal dari tumbuh-tumbuhan (komposisi
utamanya karbon, hidrogen, dan oksigen), berwarna coklat sampai hitam, sejak
pengendapannya terkena proses kimia dan fisika yang mengakibatkan terjadinya
pengkayaan kandungan karbonnya.
ACHMAD PRIJONO, dkk (1992) :
Batubara adalah bahan bakar hydro-karbon padat yang terbentuk dari tetumbuhan
dalam linkungan bebas oksigen dan terkena pengaruh panas serta tekanan yang
berlangsung lama sekali.
2. PROSES PEMBENTUKAN BATUBARA
Secara umum telah diterima bahwa
batubara berasal dari tumbuhan. Tumbuhan yang tumbang atau mati pada umumnya
akan mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang sempurna, sehingga
setelah beberapa waktu kemudian tidak terlihat lagi bentuk asalnya. Pembusukan
dan penghancuran tersebut, pada dasarnya merupakan proses oksidasi yang disebabkan
oleh aktivitas bakteri dan jasad renik lainnya.
Akan tetapi apabila suatu
tumbuhan atau pohon yang sudah mati kemudian jatuh di daerah yang berair
seperti rawa, sungai, atau danau, maka tumbuhan tersebut tidak akan mengalami
pembusukan secara sempurna, karena pada kedalaman tertentu bakteri tidak lagi
bisa menguraikan tumbuhan tersebut baik bakteri aerob (membutuhkan oksigen)
maupun bakteri anaerob (tidak membutuhkan oksigen). Akibatnya sisa tumbuhan tersebut akan terus
mengendap membentuk suatu sediment fossil tumbuhan yang selanjutnya mengalami
perubahan fisik dan biokimia serta dipengaruhi oleh waktu , tekanan, dan
temperature, sehingga membentuk suatu sediment atau batuan organik yang
sekarang disebut BATUBARA.
Proses pembentukan batubara dari
tumbuhan mengalami dua tahap, yaitu : tahap pembentukan gambut (peatification)
dan tahap pembatubaraan (coalification).
2.1.
Tahap
Pembentukan Gambut (peatification)
Jika tumbuhan tumbang di suatu rawa, maka dapat terjadi
proses biokimia yang secara vertikal dapat dibagi menjadi dua zona, yaitu zona
permukaan yang umumnya perubahan berlangsung dengan bantuan oksigen dan zona
tengah sampai kedalaman 0,5 m yang disebut dengan peatigenic layer
(Teichmuller, 1982). Pada zona peatigenic terdapat bakteri aerob, lumut,
dan actinomyces yang aktif. Bakteri aerob akan menyebabkan oksidasi biologi
pada komponen-komponen tumbuhan yang material utamanya adalah cellulose.
Senyawa-senyawa protein dan gula cenderung terhidrolisa. Cellulose akan diubah
menjadi glikose dengan cara hidrolisis:
C6H10O5 + H2O Þ C6H12O6
(cellulose) (glikose)
Jika suplai oksigen berlangsung terus, maka proses ini akan
menuju pada penguraian lengkap dari senyawa organik, yaitu:
C6H10O5 + 6 O2 Þ 6 CO2 + 5 H2O
Bagian-bagian dari material tumbuhan tersebut cenderung
membentuk koloid dan umumnya disebut dengan asam humus (humic acid). Lemak dan
material resin umumnya hanya mengalami perubahan sedikit.
Apabila kandungan oksigen air rawa sangat rendah dan dengan
bertambahnya kedalaman, sehingga tidak memungkinkan bakteri-bakteri aerob
hidup, maka sisa tumbuhan tersebut tidak mengalami proses pembusukan dan
penghancuran yang sempurna, dengan kata lain tidak terjadi proses oksidasi yang
sempurna. Pada kondisi tersebut hanya bakteri-bakteri anaerob saja yang
berfungsi melakukan proses pembusukan yang kemudian membentuk gambut (peat).
Prosesnya adalah dengan bertambahnya kedalaman, maka
bakteri aerob akan berkurang (mati) dan diganti dengan bakteri anaerob sampai
kedalaman 10 m, dimana kehidupan bakteri makin berkurang dan hanya terjadi
perubahan kimia, terutama kondensasi primer, polymerisasi, dan reaksi reduksi.
Pada bakteri anaerob akan mengkonsumsi oksigen dari substansi organik dan
mengubahnya menjadi produk bituminous yang kaya hidrogen, selanjutnya dengan
tidak tersedianya oksigen, maka hidrogen dan karbon akan menjadi H2O, CH4, CO, dan CO2.
Apabila ditinjau secara vertikal, maka lapisan gambut
paling atas mempunyai pertambahan kandungan karbon relatif cepat sesuai
kedalamannya sampai peatigenic layer, yakni 45-50% sampai 55-60%. Lebih
dalam lagi, pertambahan kandungan karbon mencapai 64%. Kandungan karbon yang
tinggi pada peatigenic layer disebabkan karena pada lapisan tersebut kaya
substansi yang mengandung oksigen, terutama cellulose dan humicellulose yang
diubah secara mikrobiologi.
Dari keseluruhan proses, maka pembentukan substansi humus
merupakan proses penting yang tidak tergantung pada fasies dan tidak
semata-mata pada kedalaman. Oleh karena itu, faktor yang mempengaruhi proses
humifikasi dimana bakteri dapat beraktivitas dengan baik adalah kondisi
lingkungan berikut ini:
1.
Keasaman air, yaitu pada pH 7,0-7,5.
2.
Kedalaman, yaitu pada kedalaman sekitar 0,5 m
untuk bakteri aerob, sedangkan untuk bakteri anaerob bisa sampai kedalaman 10
m.
3.
Suplai oksigen, akan menurun mengikuti
kedalaman.
4.
Temperatur lingkungan, pada suhu yang hangat
akan mendukung kehidupan bakteri.
Potonie (1920 dalam Teichmuller, 1982 dan Diessel, 1984)
menyebutkan bahwa pada rumpun tumbuhan yang sama, iklim dan kondisi lingkungan
yang sama, maka potensial redox (Eh) memegang peranan penting untuk aktifitas
bakteri dan penggambutan. Ketersediaan oksigen menentukan apakah proses
penggambutan berjalan atau tidak. Berikut ini transformasi organik dalam
kaitannya dengan ketersediaan oksigen, dimana salah satu dari empat proses biokimia
di bawah ini akan terjadi pada tumbuhan yang telah mati, yaitu:
1.
Bahan tumbuhan bereaksi dengan oksigen dan
merapuh (desintegration), menghasilkan zat terbang, terutama CO2,
metan, dan air. Umumnya menghasilkan sisa yang tidak padat. Beberapa unsur
utama tumbuhan akan lebih tahan pada tipe ubahan ini, misal resin (getah) dan
lilin.
2.
Proses humifikasi atau pembusukan, yaitu bahan
tumbuhan akan berubah menjadi humus akibat oleh terbatasnya oksigen dari
atmosfir dan tingginya kandungan air lembab. Batubara yang dihasilkan berupa
humic coal.
3.
Proses penggambutan (peatification), yaitu
keadaan muka air tinggi di atas lapisan yang terakmulasi dapat mencegah
terjadinya oksidasi, akibatnya pada lingkungan yang reduksi dan adanya bakteri
anaerob, jaringan-jaringan tumbuhan menjadi hancur, kemudian terakumulasi dan
menjadi gambut, selanjutnya akan menghasilkan humic coal.
4.
Putrefaction (permentasi) yaitu peruraian
hancuran tanaman akuatik (terutama algae), bahan hanyutan, dan plankton dalam
lingkungan reduksi pada kondisi air diam (stagnant), hasilnya membentuk
sapropel, sedangkan batubara yang dihasilkan adalah batubara sapropelik.
Ciri umum gambut adalah sebagai
berikut:
1. Berwarna
kecoklatan sampai hitam.
2. Kandungan
air > 75% (pada brown coal < 75%)
3. Kandungan
karbon umumnya < 60% (pada brown coal > 60%).
4. Masih
memperlihatkan struktur tumbuhan asal, terdapat sellulose (pada brown
coal cellulose tidak hadir).
5. Dapat
dipotong dengan pisau (pada brown coal tidak dapat dipotong).
6. Bersifat
porous, bila diperas dengan tangan, keluar airnya.
Berdasarkan ciri di atas adalah
tidak mudah secara pasti membedakan antara peat dan brown coal,
apalagi proses perubahannya berlangsung secara bertahap.
2.2. Tahap pembatubaraan (coalification)
Menurut Stach (1972) tahap
geokimia atau tahap pembatubaraan disebut sebagai tahap fisika-kimia
(physicochemical stage), yaitu tahap perubahan dari gambut menjadi batubara
secara bertingkat (brown coal, sub-bituminous coal, bituminous coal, semi
anthracite, anthracite, meta-anthracite) yang disebabkan oleh peningkatan
temperatur dan tekanan.
Prosesnya, jika lapisan gambut
yang terbentuk kemudian ditutupi oleh lapisan sedimen, maka akan mengalami
tekanan dari lapisan sedimen tersebut, tekanan akan meningkat dengan
bertambahnya ketebalan lapisan sedimen. Tekanan yang bertambah akan
mengakibatkan peningkatan temperatur. Di samping itu, temperatur juga akan
meningkat dengan bertambahnya kedalaman yang disebut gradien geotermal.
Kenaikan temperatur dan tekanan juga disebabkan oleh aktivitas magma dan aktivitas
tektonik lainnya. Peningkatan tekanan dan temperatur pada lapisan gambut akan
mengkonversi gambut menjadi batubara dimana terjadi proses pengurangan
kandungan air, pelepasan gas-gas (H2O, CH4, CO, dan CO2),
peningkatan kepadatan dan kekerasan, serta peningkatan kalor. Faktor tekanan
dan temperatur serta waktu merupakan faktor-faktor yang menentukan “kualitas”
batubara.
Pada tahap ini terjadi perubahan
rombakan tumbuhan dari kondisi reduksi ke suatu seri menerus dengan prosentase
karbon makin meningkat dan prosentase oksigen serta hidrogen makin berkurang.
Juga sifat fisik maseral mulai terbentuk, seperti kenaikan reflektansi maseral
batubara seiring dengan naiknya derajat proses kimia-fisika.
Perubahan-perubahan fisika-kimia
berlangsung secara bertahap, yaitu:
1. Tahap
pertama adalah pembentukan peat, proses berlangsung terus sampai membentuk
endapan, di bawah kondisi asam menguapnya H2O, CH4, dan
sedikit CO2 membentuk C65H4O30 yang
dalam kondisi dry basis besarnya analisa pada ultimate adalah karbon 61,7%,
hidrogen 0,3%, dan oksigen 38,0%.
2. Tahap
kedua adalah tahap lignit kemudian meningkat ke bituminous tingkat rendah
dengan susunan C79H55O141 yang pada kondisi
dry basis adalah karbon 80,4%, hidrogen 0,3%, dan oksigen 19,1%.
3. Tahap
ketiga adalah peningkatan dari batubara bituminous tingkat rendah sampai
tingkat medium dan kemudian sampai batubara bituminous tingkat tinggi. Pada
tahap ini kandungan hidrogen tetap dan oksigen berkurang sampai satu atom
oksigen tertinggal di molekul.
4. Tahap
keempat, kandungan hidrogen berkurang, sedangkan kandungan oksigen menurun
lebih lambat dari tahapan sebelumnya. Hasil sampingan tahap tiga dan empat
adalah CH4, CO2, dan sedikit H2O.
5. Tahap
kelima adalah proses pembentukan antrasit dimana kandungan oksigen tetap dan kandungan
hidrogen menurun lebih cepat dari tahap-tahap sebelumnya.
Derajat batubara tergantung pada
temperatur, yaitu dapat akibat terobosan batuan beku, gradien geotermal, dan
konduktifitas panas batuan. Contoh pada sedimen Tersier di Upper Rhein Graben dengan
gradien hidrotermal 7-80C/100 m, menghasilkan batubara bituminous
pada kedalaman 1500 m, sedangkan di daerah dingin yang gradien hidrotermalnya 40C/100m
dapat mencapai derajat yang sama pada kedalaman 2600m.
Faktor waktu menurut hasil
penelitian pada gambut lepas setebal 10-12 ft akan menghasilkan 1 ft gambut
padat memmerlukan waktu sekitar 100 tahun. Dalam proses dari gambut menjadi
batubara terjadi pemampatan dan jika diambil contoh kayu sebagai basis (100%)
pembentukan gambut dan batubara, maka perbandingan volume dalam % adalah:
1. Gambut = 28 - 45%
2. Lignite = 17 - 28%
3. Bituminous
coal = 10 - 17%
4. Anthracite = 5 -
10%
Jika diasumsikan bahwa waktu yang
diperlukan untuk menghasilkan 1 ft gambut termampatkan adalah 100 tahun, maka
dengan menggunakan persentasi di atas dapat diasumsikan bahwa waktu yang
dibutuhkan untuk akumulasi gambut hingga diperoleh ketebalan batubara 1 ft,
yaitu:
1. Lignite = 160 tahun
2. Bituminous = 260 tahun
3. Anthracite = 490 tahun
Angka-angka di atas hanya untuk
menggambarkan bahwa laju akumulasi gambut dan batubara sedemikian lambatnya,
sementara kondisi di alam demikian banyak faktor yang mempengaruhinya.
Selanjutnya, tercapainya derajat
batubara juga dapat tergantung pada gabungan temperatur dan waktu. Sebagai
contoh, pada batubara dengan kandungan zat terbang 19% dapat terbentuk pada
kondisi:
1. 2000C
selama lebih dari 10 juta tahun
2. 1500C
selama lebih dari 50 juta tahun
3. 1000C
selama lebih dari 200 juta tahun
4. 50-600C
tidak pernah terbentuk batubara
Berdasarkan penjelasan di atas,
maka pada prinsipnya derajat batubara ditentukan oleh faktor temperatur,
tekanan, dan waktu, sehingga bisa disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mengendalikan adalah:
1. Derajat
batubara sebelum terganggu kegiatan intrusi atau struktur geologi.
2. Ukuran
dan bentuk kegiatan intrusi atau struktur geologi.
3. Jumlah
dan asal tekanan.
4. Jarak
batubara dari gangguan.
5. Suhu
batubara dari gangguan
6. Lama
gangguan berlangsung.
3. TEORI PEMBENTUKAN BATUBARA
Pada dasarnya semua teori setuju
bahwa batubara berasal dari fossil tumbuhan. Namun demikian ada beberapa teori
yang menerangkan bagaimana proses terjadinya batubara tersebut. Diantaranya ada
dua teori yang penting untuk diketahui yaitu teori INSITU dan teori DRIFT.
3.1. Teori INSITU, teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan batubara
terbentuknya ditempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Dengan demikian
maka setelah tumbuhan tersebut mati, belum mengalami proses transportasi segera
tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami proses COALIFICATION. Jenis
batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan merata,
kualitasnya lebih baik karena kadar abunya relatif kecil.
Karakteristik batubara insitu (Autochthonous
coals) adalah sebagai berikut :
1.
Hadirnya seat earths.
2.
Ada
struktur akar tumbuhan yang tegak terhadap bidang perlapisan.
3.
Ada
pokok (tunggul) pohon yang tumbuh di tempat itu.
4.
Batubaranya relatif bersih, kadar abunya relatif
kecil, baik pada lapisan batubara maupun lapisan antar seam.
5.
Umumnya berasosiasi dengan lingkungan rawa
dengan drainase buruk.
6.
Sebarannya luas dan merata di seluruh lapangan
batubara.
7.
Ketebalannya seragam (kurang bervariasi)
cenderung tipis dan berbentuk lentikuler.
8.
Hadirnya batupasir kuarsa halus atau ganister.
9.
Kontaknya tegas (tiba-tiba) antara batubara
dengan lapisan sedimen di atasnya.
10.
Berasosiasi dengan lingkungan floating swamps,
low-lying swamps, dan raised swamps.
11.
Maceral terawetkan secara baik dan hadir
litotipe vitrain, clarain, durain, dan fusain.
3.2. Teori DRIFT, Teori ini menyebutkan bahwa bahan-bahan pembentuk
lapisan batubara terjadinya ditempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula
hidup dan berkembang. Tumbuhan yang telah mati diangkut oleh media air dan
berakumulasi di suatu tempat, tertutup oleh batuan sedimen dan mengalami proses
COALIFICATION. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai
penyebaran tidak luas, tetapi dijumpai di beberapa tempat, kualitas kurang baik
karena banyak mengandung material pengotor yang terangkut bersama selama proses
pengangkutan dari tempat asal tanaman ke tempat sedimentasi.
Karakteristik batubara Drift (Allochthonous
coals) adalah sebagai berikut :
1.
Tidak adanya seat earths.
2.
Tidak dijumpainya struktur akar tumbuhan atau
pokok pohon yang tegak terhadap bidang perlapisan.
3.
Ketebalan dan kualitas lebih bervariasi.
4.
Berasosiasi dengan endapan delta.
5.
Batubara yang berasosiasi dengan lingkungan
marin.
6.
Hadirnya coal balls pada batupasir
lapisan penutup.
7.
Sebarannya tidak luas dan tersebar pada beberapa
tempat.
8.
Kadar abunya relatif lebih tinggi, banyak
pengotornya.
9.
Mengandung maceral yang resisten seperti liptinites
dan inertinites dengan mineral matter yang melimpah.
4. FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK BATUBARA
Schlatter’s (1973) menyebutkan
bahwa pembentukan batubara merupakan proses yang kompleks yang harus dipelajari
dari banyak segi, karena ada bermacam-macam proses yang berbeda satu dengan
lainnya yang mempengaruhi pembentukan batubara, baik derajat maupun jenis
batubaranya pada suatu cekungan.
4.1. Posisi geotektonik (geotectonic position)
Di dalam genesa cekungan
batubara, posisi geotektonik merupakan faktor yang umum, dominan, dan memegang
peranan penting. Posisi geotektonik mempengaruhi iklim, morfologi cekungan,
kecepatan sedimentasi, kecepatan penurunan dasar cekungan, jenis flora, dan
pada akhirnya akan berpengaruh terhadap jenis batubara (coal type), derajat
batubara (coal rank), dan geometri lapisan batubara yang terbentuk .
Pada daerah bertektonik kuat,
penurunan cekungan akan berjalan cepat selama pengendapan berlangsung. Akibatnya
akan berpengaruh terhadap perbedaan petrografi dan geometri lapisan batubara
serta menambah kontaminasi mineral, seperti sulfida, klorit, dan karbonat.
Cekungan batubara dapat terbentuk
diberbagai posisi dari suatu tatanan tektonik. Batubara di Sumatera Selatan
terjadi di cekungan belakang busur pada lingkungan yang sebagian besar berair
payau, sedangkan batubara Ombilin terjadi di cekungan intra-montane pada
lingkungan air tawar. Batubara di Bengkulu terjadi cekungan muka busur di
lingkungan delta. Batubara di Kalimantan Timur pada delta yang progradasi, seperti di Delta
Mahakam.
4.2. Topografi purba (paleotopografi)
Morfologi cekungan mempunyai arti penting di dalam
menentukan penyebaran rawa-rawa tempat batubara terbentuk. Pada daerah pantai
datar dan tidak berbukit merupakan lingkungan yang baik untuk pembentukan
batubara, demikian juga di daerah cekungan benua, tetapi jumlahnya terbatas.
Pada dataran stabil, erosi akan mempengaruhi ukuran dan bentuk lakustrin, asal
dan luas pengaliran, aliran air, dan permukaan airtanah. Faktor-faktor tersebut
mempengaruhi pembentukan batubara.
4.3. Posisi geografi (geographical position)
Posisi geografi berpengaruh
terhadap iklim, khususnya temperatur. Pada daerah tropik dan subtropik,
tumbuhan dapat tumbuh subur dibanding di daerah sedang, di daerah kutub tidak
baik bagi pertumbuhan tumbuhan. Pembentukan batubara akan baik pada rawa-rawa
paralik yang tingginya sama dengan permukaan air laut.
Menurut Teichimuller (dalam
Stach, 1975), lingkungan pembentukan endapan gambut dipengaruhi oleh:
1.
Kenaikan muka airtanah lambat atau penurunan
dasar cekungan lambat, sehingga endapan gambut terhindar dari abrasi air laut.
2.
Adanya beting pantai, gosong pasir, atau tanggul
alam yang menghalangi rawa-rawa dari abrasi air laut, sehingga dapat
mempertahankan endapan gambut dari banjir sungai dan abrasi laut.
3.
Relief daratan yang rendah, sehingga pengendapan
material fluviatil berbutir halus akan menutupi endapan gambut yang terbentuk
terlebih dahulu.
Berdasarkan posisi geografinya, terjadinya endapan
batubara dapat di lingkungan daratan (limnic) dan pantai laut (paralic). Pada
prinsipnya pembentukan endapan gambut memerlukan kondisi pemukaan airtanah yang
konstan sepanjang tahun, sehingga endapan organik dari tumbuhan yang mati
segera terdekomposisi. Kondisi demikian tergantung posisi geografinya, di
samping iklim dan biasanya dijumpai di daerah tepi pantai dimana air laut
membendung air yang datang dari daratan. Juga pada rawa-rawa dekat pantai.
Untuk gambut di daratan dapat pada garis tepi danau atau rawa yang besar.
4.4. Iklim (climate)
Gambut berasal dari tumbuhan, sedangkan perkembangan
tumbuhan dipengaruhi oleh iklim, lebih khusus lagi adalah kelembaban. Pada
daerah beriklim tropik dan subtropik yang bertemperatur tinggi, umumnya sesuai
untuk pertumbuhan tumbuhan dibandingkan daerah beriklim dingin. Di samping itu,
suhu yang lebih panas tidak hanya mempercepat pertumbuhan tumbuhan, tetapi juga
mempercepat pembusukan.
Hasil penelitian menyebutkan bahwa hutan rawa tropis
mempunyai siklus pertumbuhan setiap 7-9 tahun dan tumbuhan mencapai tinggi
sekitar 30 m, sementara di iklim dingin atau sedang untuk waktu yang sama
pertumbuhannya hanya mencapai ketinggian 5-6 m. Daerah iklim sedang miskin
bahan makanan, sehingga didominasi oleh lumut, sedangkan daerah tropik
didominasi pohon.
Pada Karbon Akhir atau Tersier
Awal, umumnya gambut terbentuk di iklim tropis dan basah. Meskipun demikian, di
belahan bumi selatan dan Siberia dijumpai batubara yang terbentuk di iklim sedang
dan basah, bahkan di iklim dingin seperti batubara Gondwana (Permo-Karbon)
dengan tumbuhan utama Gangamopteris, Glossopteris, Cycadophyta, dan
Conifers.
Lapisan batubara yang terbentuk
di lingkungan iklim tropis basah umumnya tebal dan cemerlang (bright coal),
sebaliknya di iklim sedang atau dingin terdiri dari sedikit batubara cemerlang.
Meskipun demikian, selama pembentukan batubara tidak selalu iklimnya tetap,
seperti di belahan bumi selatan terdapat batubara tebal diselingi lapisan yang
tidak mengandung batubara. Kondisi ini ditafsirkan sebagai masa yang kering
dengan ciri sedimen berkadar garam tinggi dan diperkirakan suhunya lebih dingin
dibanding suhu sekarang.
4.5. Tumbuhan (flora)
Tumbuhan merupakan unsur utama
pembentuk batubara. Protoplasma adalah sel pengisi tumbuhan hidup yang
merupakan zat koloidal yang sebagian besar terdiri dari air dan albumin
kompleks atau campuran unsur C, H, O, N, S, dan P. Albumin hampir tidak
memiliki daya tahan terhadap pembusukan, fungsinya sebagai zat makan atau
nutrient bagi bakteri penyebab pembusukan.
Selaput sel terutama terdiri dari
cellulose, merupakan karbohidrat yang tahan terhadap perubahan kimiawi,
tetapi dapat dengan mudah ditelan oleh mikro-organisme. Di alam, cellulose
bersama-sama dengan sederet unsur lain seperti hemicellulose, pectins, lemak,
dan lignin. Tiga yang pertama tidak memiliki daya tahan terhadap pembusukan,
sehingga kurang penting dalam pembentukan batubara. Lignin diperlukan dalam
perubahan bentuk tumbuhan, selalu terjalin secara submikroskopis dengan
cellulose dan merupakan bahan dasar jaringan kayu, walau terdapat pula dalam
daun. Resin dan lilin juga dihasilkan oleh tumbuhan, biasanya termasuk
hidrokarbon polimer tinggi dengan oksigen dan belerang dalam jumlah kecil.
Keduanya sangat tahan terhadap pembusukan.
Pemunculan tumbuhan tidak
terlepas dari evolusi kehidupan yang menghasilkan kondisi berbeda selama masa
sejarah geologi. Mulai Paleozoik-Devonian, tumbuhan tidak tumbuh dengan baik.
Setelah Devon pertama kali terbentuk lapisan batubara di daerah lagunal yang
dangkal. Periode ini merupakan titik awal dari pertumbuhan tumbuhan secara
besar-besaran dalam kurun waktu yang singkat pada setiap kontinen. Hutan tumbuh
dengan subur selama Karbon, pada Tersier merupakan perkembangan yang sangat
luas dari berbagai jenis tumbuhan.
4.6. Pembusukan (decomposition)
Pembusukan tumbuhan adalah proses peruraian unsur yang
merupakan bagian transformasi biokimia dari bahan organik tumbuhan. Setelah
tumbuhan mati, maka yang berperan adalah proses degradasi biokimia. Prosesnya
adalah pembusukan oleh kerja bakteri dan jamur, terutama di daerah yang
bertemperatur hangat dan lembab daripada di daerah kering dan bertemperatur
dingin. Bakteri bekerja pada lingkungan tanpa oksigen, mula-mula menghancurkan
bagian yang lunak dari tumbuhan seperti cellulose, protoplasma, dan pati. Dalam
suasana kekurangan oksigen akan berakibat keluarnya air dan sebagian unsur
karbon dalam bentuk karbondioksida, karbonmonoksida, dan metan. Akibat
pelepasan unsur atau senyawa tersebut, maka jumlah relatif unsur karbon akan
bertambah. Dari proses ini akan terjadi perubahan dari kayu menjadi
gambut.
Kecepatan pembentukan gambut
bergantung pada kecepatan pertumbuhan tumbuhan dan proses pembusukan. Bila
tumbuhan yang mati tertutup oleh air dengan cepat, maka akan terjadi proses
penguraian oleh bakteri. Sebaliknya apabila tumbuhan yang telah mati terlalu
lama berada di udara terbuka, maka kecepatan pembentukan gambut akan berkurang,
karena hanya bagian yang keras saja yang tertinggal, sehingga menyulitkan
penguraian oleh bakteri.
Pembusukan umumnya berjalan lebih
cepat pada kondisi lingkungan yang selalu berganti, yaitu dari reduksi ke
oksidasi dan seterusnya. Kadar pembusukan akan berpengaruh terhadap batubara
yang akan terbentuk.
4.7. Penurunan dasar cekungan (subsidence)
Penurunan cekungan merupakan hal
penting, yaitu jika penurunan dan akumulasi tumbuhan berjalan seimbang, maka
akan menghasilkan endapan batubara tebal.
Pergantian transgresi dan regresi juga akan mempengaruhi pertumbuhan
tumbuhan dan pengendapannya, juga menyebabkan adanya infiltrasi material dan
mineral yang akan mempengaruhi komposisi batubara.
Kecepatan penurunan yang lebh
cepat dari kecepatan akumulasi tumbuhan akan mengakibatkan air menggenangi
rawa-rawa dan hutan sekelilingnya, sehingga kehidupan tumbuhan terganggu. Jika
penurunan lebih lambat dari kecepatan akumulasi tumbuhan, maka akan menyebabkan
akumulasi tumbuhan di permukaan. Akibatnya permukaan airtanah akan turun dan
tumbuhan membusuk oleh udara.
4.8. Waktu geologi (geological age)
Waktu geologi menentukan
berkembangnya beragam tumbuhan, misal pada jaman Karbon dijumpai endapan
batubara yang melimpah karena pada jaman tersebut perkembangan tumbuhan
mencapai puncaknya.
Waktu geologi juga dapat
meningkatkan derajat batubara, karena makin tua umur endapan batubara, maka
besar kemungkinannya tertimbun lebih dalam dan lebih tebal oleh endapan sedimen
dibandingkan yang berumur muda. Meskipun demikian, pada batubara yang lebih tua
selalu ada risiko mengalami deformasi tektonik dan pengaruh erosi, sehingga
dapat mengganggu atau mengurangi endapan batubara yang ada.
Perkecualian dapat terjadi,
sekalipun endapan batubara berumur tua, belum tentu akan tertimbun oleh sedimen
yang lebih tebal atau mempunyai peringkat yang lebih tinggi. Bahkan adanya
terobosan batuan beku dapat membuat endapan batubara muda mencapai peringkat
yang tinggi, misalnya endapan semi antrasit yang berumur Mio-Pliosen di Suban,
Tanjung Enim dan berumur Miosen Tengah di Bukit Sunur, Bengkulu.
4.9. Sejarah setelah pengendapan
(post-depositional history)
Sejarah
cekungan batubara sangat tergantung pada posisi geotektoniknya, karena posisi
geotektonik mempengaruhi perkembangan cekungan batubara dan berpengaruh pada
tebalnya lapisan penutup yang pada akhirnya menentukan proses kecepatan
metamorfose organik dan bertanggungjawab terhadap struktur cekungan batubara,
lipatan, sesar, atau terobosan batuan beku. Secara singkat dapat berpengaruh
terhadap aspek geometri lapisan batubara dan kualitas batubara.
4.10. Metamorfosa organik (organic metamorphism)
Perubahan fisik dan kimia dari
organisme secara berangsur menjadi bentuk lain yang susunannya lebih kompleks,
umumnya pada kondisi tanpa oksigen. Prosesnya dibagi menjadi dua tahap, yaitu
perubahan biokimia dan perubahan geokimia.
Proses biokimia yaitu perubahan
dari tumbuhan mati menjadi gambut dan proses geokimia yaitu perubahan dari
gambut menjadi batubara. Pada proses geokimia, kenaikan suhu memegang peranan
penting, yaitu berkurangnya unsur hidrogen dan oksigen yang diikuti oleh
meningkatnya unsur karbon, sehingga derajat batubara makin meningkat. Kenaikan
suhu ini terutama disebabkan oleh tebalnya batuan yang menindihnya atau adanya
terobosan magma batuan beku.
Metamorfosa organik dipengaruhi
oleh proses yang bekerja setelah pengendapan, secara tidak langsung juga
dipengaruhi oleh posisi geotektonik, kecepatan penurunan cekungan, dan waktu
geologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar