Teori INSITU
teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan batubara terbentuknya ditempat
dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Dengan demikian maka setelah tumbuhan
tersebut mati, belum mengalami proses transportasi segera tertutup oleh lapisan
sedimen dan mengalami proses COALIFICATION.
Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan
merata, kualitasnya lebih baik karena kadar abunya relatif kecil.
Karakteristik batubara insitu (Autochthonous
coals) adalah sebagai berikut :
1.
Hadirnya seat earths.
2.
Ada struktur akar tumbuhan yang tegak terhadap
bidang perlapisan.
3.
Ada pokok (tunggul) pohon yang tumbuh di tempat
itu.
4.
Batubaranya relatif bersih, kadar abunya relatif
kecil, baik pada lapisan batubara maupun lapisan antar seam.
5.
Umumnya berasosiasi dengan lingkungan rawa
dengan drainase buruk.
6.
Sebarannya luas dan merata di seluruh lapangan
batubara.
7.
Ketebalannya seragam (kurang bervariasi)
cenderung tipis dan berbentuk lentikuler.
8.
Hadirnya batupasir kuarsa halus atau ganister.
9.
Kontaknya tegas (tiba-tiba) antara batubara
dengan lapisan sedimen di atasnya.
10.
Berasosiasi dengan lingkungan floating swamps,
low-lying swamps, dan raised swamps.
11.
Maceral terawetkan secara baik dan hadir
litotipe vitrain, clarain, durain, dan fusain.
3.2. Teori DRIFT
Teori ini menyebutkan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara
terjadinya ditempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup dan
berkembang. Tumbuhan yang telah mati diangkut oleh media air dan berakumulasi
di suatu tempat, tertutup oleh batuan sedimen dan mengalami proses COALIFICATION. Jenis batubara yang
terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi dijumpai di
beberapa tempat, kualitas kurang baik karena banyak mengandung material
pengotor yang terangkut bersama selama proses pengangkutan dari tempat asal
tanaman ke tempat sedimentasi.
Karakteristik batubara Drift (Allochthonous coals) adalah sebagai
berikut:
1.
Tidak adanya seat earths.
2.
Tidak dijumpainya struktur akar tumbuhan atau
pokok pohon yang tegak terhadap bidang perlapisan.
3.
Ketebalan dan kualitas lebih bervariasi.
4.
Berasosiasi dengan endapan delta.
5.
Batubara yang berasosiasi dengan lingkungan
marin.
6.
Hadirnya coal balls pada batupasir
lapisan penutup.
7.
Sebarannya tidak luas dan tersebar pada beberapa
tempat.
8.
Kadar abunya relatif lebih tinggi, banyak
pengotornya.
9.
Mengandung maceral yang resisten seperti liptinites
dan inertinites dengan mineral matter yang melimpah.
4. FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK
BATUBARA
Schlatter’s (1973) menyebutkan bahwa pembentukan batubara merupakan
proses yang kompleks yang harus dipelajari dari banyak segi, karena ada
bermacam-macam proses yang berbeda satu dengan lainnya yang mempengaruhi
pembentukan batubara, baik derajat maupun jenis batubaranya pada suatu
cekungan.
4.1.
Posisi geotektonik (geotectonic
position)
Di dalam genesa cekungan batubara, posisi geotektonik merupakan faktor
yang umum, dominan, dan memegang peranan penting. Posisi geotektonik mempengaruhi
iklim, morfologi cekungan, kecepatan sedimentasi, kecepatan penurunan dasar
cekungan, jenis flora, dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap jenis
batubara (coal type), derajat batubara (coal rank), dan geometri lapisan
batubara yang terbentuk .
Pada daerah bertektonik kuat, penurunan cekungan akan berjalan cepat
selama pengendapan berlangsung. Akibatnya akan berpengaruh terhadap perbedaan
petrografi dan geometri lapisan batubara serta menambah kontaminasi mineral,
seperti sulfida, klorit, dan karbonat.
Cekungan batubara dapat terbentuk diberbagai posisi dari suatu tatanan
tektonik. Batubara di Sumatera Selatan terjadi di cekungan belakang busur pada
lingkungan yang sebagian besar berair payau, sedangkan batubara Ombilin terjadi
di cekungan intra-montane pada lingkungan air tawar. Batubara di Bengkulu
terjadi cekungan muka busur di lingkungan delta. Batubara di Kalimantan Timur
pada delta yang progradasi, seperti di
Delta Mahakam.
4.2. Topografi purba (paleotopografi)
Morfologi cekungan mempunyai arti penting
di dalam menentukan penyebaran rawa-rawa tempat batubara terbentuk. Pada daerah
pantai datar dan tidak berbukit merupakan lingkungan yang baik untuk
pembentukan batubara, demikian juga di daerah cekungan benua, tetapi jumlahnya
terbatas. Pada dataran stabil, erosi akan mempengaruhi ukuran dan bentuk
lakustrin, asal dan luas pengaliran, aliran air, dan permukaan airtanah.
Faktor-faktor tersebut mempengaruhi pembentukan batubara.
4.3. Posisi geografi (geographical position)
Posisi geografi berpengaruh terhadap iklim, khususnya temperatur. Pada
daerah tropik dan subtropik, tumbuhan dapat tumbuh subur dibanding di daerah
sedang, di daerah kutub tidak baik bagi pertumbuhan tumbuhan. Pembentukan
batubara akan baik pada rawa-rawa paralik yang tingginya sama dengan permukaan
air laut.
Menurut Teichimuller (dalam Stach, 1975), lingkungan pembentukan endapan
gambut dipengaruhi oleh:
1.
Kenaikan muka air tanah lambat atau penurunan
dasar cekungan lambat, sehingga endapan gambut terhindar dari abrasi air laut.
2.
Adanya beting pantai, gosong pasir, atau tanggul
alam yang menghalangi rawa-rawa dari abrasi air laut, sehingga dapat
mempertahankan endapan gambut dari banjir sungai dan abrasi laut.
3.
Relief daratan yang rendah, sehingga pengendapan
material fluviatil berbutir halus akan menutupi endapan gambut yang terbentuk
terlebih dahulu.
Berdasarkan posisi geografinya,
terjadinya endapan batubara dapat di lingkungan daratan (limnic) dan pantai laut (paralic).
Pada prinsipnya pembentukan endapan gambut memerlukan kondisi pemukaan airtanah
yang konstan sepanjang tahun, sehingga endapan organik dari tumbuhan yang mati
segera terdekomposisi. Kondisi demikian tergantung posisi geografinya, di
samping iklim dan biasanya dijumpai di daerah tepi pantai dimana air laut
membendung air yang datang dari daratan. Juga pada rawa-rawa dekat pantai.
Untuk gambut di daratan dapat pada garis tepi danau atau rawa yang besar.
4.4. Iklim (climate)
Gambut berasal dari tumbuhan, sedangkan perkembangan tumbuhan
dipengaruhi oleh iklim, lebih khusus lagi adalah kelembaban. Pada daerah
beriklim tropik dan subtropik yang bertemperatur tinggi, umumnya sesuai untuk
pertumbuhan tumbuhan dibandingkan daerah beriklim dingin. Di samping itu, suhu
yang lebih panas tidak hanya mempercepat pertumbuhan tumbuhan, tetapi juga
mempercepat pembusukan.
Hasil penelitian menyebutkan bahwa hutan rawa tropis
mempunyai siklus pertumbuhan setiap 7-9 tahun dan tumbuhan mencapai tinggi
sekitar 30 m, sementara di iklim dingin atau sedang untuk waktu yang sama
pertumbuhannya hanya mencapai ketinggian 5-6 m. Daerah iklim sedang miskin
bahan makanan, sehingga didominasi oleh lumut, sedangkan daerah tropik
didominasi pohon.
Pada Karbon
Akhir atau Tersier Awal, umumnya gambut terbentuk di iklim tropis dan basah.
Meskipun demikian, di belahan bumi selatan dan Siberia dijumpai batubara yang
terbentuk di iklim sedang dan basah, bahkan di iklim dingin seperti batubara
Gondwana (Permo-Karbon) dengan tumbuhan utama Gangamopteris, Glossopteris,
Cycadophyta, dan Conifers.
Lapisan batubara
yang terbentuk di lingkungan iklim tropis basah umumnya tebal dan cemerlang
(bright coal), sebaliknya di iklim sedang atau dingin terdiri dari sedikit
batubara cemerlang. Meskipun demikian, selama pembentukan batubara tidak selalu
iklimnya tetap, seperti di belahan bumi selatan terdapat batubara tebal
diselingi lapisan yang tidak mengandung batubara. Kondisi ini ditafsirkan
sebagai masa yang kering dengan ciri sedimen berkadar garam tinggi dan
diperkirakan suhunya lebih dingin dibanding suhu sekarang.
4.5. Tumbuhan (flora)
Tumbuhan
merupakan unsur utama pembentuk batubara. Protoplasma adalah sel pengisi
tumbuhan hidup yang merupakan zat koloidal yang sebagian besar terdiri dari air
dan albumin kompleks atau campuran unsur C, H, O, N, S, dan P. Albumin hampir
tidak memiliki daya tahan terhadap pembusukan, fungsinya sebagai zat makan atau
nutrient bagi bakteri penyebab
pembusukan.
Selaput sel
terutama terdiri dari cellulose, merupakan karbohidrat yang tahan
terhadap perubahan kimiawi, tetapi dapat dengan mudah ditelan oleh
mikro-organisme. Di alam, cellulose bersama-sama dengan sederet unsur lain
seperti hemicellulose, pectins, lemak, dan lignin. Tiga yang pertama tidak
memiliki daya tahan terhadap pembusukan, sehingga kurang penting dalam
pembentukan batubara. Lignin diperlukan dalam perubahan bentuk tumbuhan, selalu
terjalin secara submikroskopis dengan cellulose dan merupakan bahan dasar
jaringan kayu, walau terdapat pula dalam daun. Resin dan lilin juga dihasilkan
oleh tumbuhan, biasanya termasuk hidrokarbon polimer tinggi dengan oksigen dan
belerang dalam jumlah kecil. Keduanya sangat tahan terhadap pembusukan.
Pemunculan
tumbuhan tidak terlepas dari evolusi kehidupan yang menghasilkan kondisi
berbeda selama masa sejarah geologi. Mulai Paleozoik-Devonian,
tumbuhan tidak tumbuh dengan baik. Setelah Devon
pertama kali terbentuk lapisan batubara di daerah lagunal yang dangkal. Periode
ini merupakan titik awal dari pertumbuhan tumbuhan secara besar-besaran dalam
kurun waktu yang singkat pada setiap kontinen. Hutan tumbuh dengan subur selama
Karbon, pada Tersier merupakan perkembangan yang sangat luas dari berbagai
jenis tumbuhan.
4.6. Pembusukan (decomposition)
Pembusukan tumbuhan adalah proses peruraian unsur yang
merupakan bagian transformasi biokimia dari bahan organik tumbuhan. Setelah
tumbuhan mati, maka yang berperan adalah proses degradasi biokimia. Prosesnya
adalah pembusukan oleh kerja bakteri dan jamur, terutama di daerah yang
bertemperatur hangat dan lembab daripada di daerah kering dan bertemperatur
dingin. Bakteri bekerja pada lingkungan tanpa oksigen, mula-mula menghancurkan
bagian yang lunak dari tumbuhan seperti cellulose, protoplasma, dan pati. Dalam
suasana kekurangan oksigen akan berakibat keluarnya air dan sebagian unsur
karbon dalam bentuk karbondioksida, karbonmonoksida, dan metan. Akibat
pelepasan unsur atau senyawa tersebut, maka jumlah relatif unsur karbon akan
bertambah. Dari proses ini akan terjadi perubahan dari kayu menjadi gambut.
Kecepatan
pembentukan gambut bergantung pada kecepatan pertumbuhan tumbuhan dan proses
pembusukan. Bila tumbuhan yang mati tertutup oleh air dengan cepat, maka akan
terjadi proses penguraian oleh bakteri. Sebaliknya apabila tumbuhan yang telah
mati terlalu lama berada di udara terbuka, maka kecepatan pembentukan gambut
akan berkurang, karena hanya bagian yang keras saja yang tertinggal, sehingga
menyulitkan penguraian oleh bakteri.
Pembusukan
umumnya berjalan lebih cepat pada kondisi lingkungan yang selalu berganti,
yaitu dari reduksi ke oksidasi dan seterusnya. Kadar pembusukan akan
berpengaruh terhadap batubara yang akan terbentuk.
4.7. Penurunan dasar cekungan (subsidence)
Penurunan cekungan merupakan hal penting, yaitu jika penurunan dan
akumulasi tumbuhan berjalan seimbang, maka akan menghasilkan endapan batubara
tebal. Pergantian transgresi dan regresi
juga akan mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan dan pengendapannya, juga
menyebabkan adanya infiltrasi material dan mineral yang akan
mempengaruhi komposisi batubara.
Kecepatan penurunan yang lebh cepat dari kecepatan akumulasi tumbuhan
akan mengakibatkan air menggenangi rawa-rawa dan hutan sekelilingnya, sehingga
kehidupan tumbuhan terganggu. Jika penurunan lebih lambat dari kecepatan
akumulasi tumbuhan, maka akan menyebabkan akumulasi tumbuhan di permukaan.
Akibatnya permukaan airtanah akan turun dan tumbuhan membusuk oleh udara.
4.8. Waktu geologi (geological age)
Waktu geologi menentukan berkembangnya beragam tumbuhan, misal pada jaman
Karbon dijumpai endapan batubara yang melimpah karena pada jaman tersebut
perkembangan tumbuhan mencapai puncaknya.
Waktu geologi juga dapat meningkatkan derajat batubara, karena makin tua
umur endapan batubara, maka besar kemungkinannya tertimbun lebih dalam dan
lebih tebal oleh endapan sedimen dibandingkan yang berumur muda. Meskipun
demikian, pada batubara yang lebih tua selalu ada risiko mengalami deformasi
tektonik dan pengaruh erosi, sehingga dapat mengganggu atau mengurangi endapan
batubara yang ada.
Perkecualian
dapat terjadi, sekalipun endapan batubara berumur tua, belum tentu akan
tertimbun oleh sedimen yang lebih tebal atau mempunyai peringkat yang lebih
tinggi. Bahkan adanya terobosan batuan beku dapat membuat endapan batubara muda
mencapai peringkat yang tinggi, misalnya endapan semi antrasit yang berumur Mio-Pliosen di Suban, Tanjung Enim dan
berumur Miosen Tengah di Bukit Sunur,
Bengkulu.
4.9. Sejarah setelah pengendapan
(post-depositional history)
Sejarah cekungan batubara sangat tergantung pada
posisi geotektoniknya, karena posisi geotektonik mempengaruhi perkembangan
cekungan batubara dan berpengaruh pada tebalnya lapisan penutup yang pada
akhirnya menentukan proses kecepatan metamorfose organik dan bertanggungjawab
terhadap struktur cekungan batubara, lipatan, sesar, atau terobosan batuan
beku. Secara singkat dapat berpengaruh terhadap aspek geometri lapisan batubara
dan kualitas batubara.
4.10. Metamorfosa organik (organic metamorphism)
Perubahan fisik dan kimia dari organisme secara berangsur menjadi bentuk
lain yang susunannya lebih kompleks, umumnya pada kondisi tanpa oksigen.
Prosesnya dibagi menjadi dua tahap, yaitu perubahan biokimia dan perubahan
geokimia.
Proses biokimia yaitu perubahan dari tumbuhan mati menjadi gambut dan
proses geokimia yaitu perubahan dari gambut menjadi batubara. Pada proses
geokimia, kenaikan suhu memegang peranan penting, yaitu berkurangnya unsur
hidrogen dan oksigen yang diikuti oleh meningkatnya unsur karbon, sehingga
derajat batubara makin meningkat. Kenaikan suhu ini terutama disebabkan oleh
tebalnya batuan yang menindihnya atau adanya terobosan magma batuan beku.
Metamorfosa
organik dipengaruhi oleh proses yang bekerja setelah pengendapan, secara tidak
langsung juga dipengaruhi oleh posisi geotektonik, kecepatan penurunan
cekungan, dan waktu geologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar